Selasa, 18 Maret 08
Sejak awal Pak Harto mencanangkan landasan dan
tonggak-tonggak kebijakannya yang sangat tegas, padat dan memang
merupakan pondasi yang kokoh, yaitu Trilogi Pembangunan.
Salah satu pondasi, dan menurut saya yang terpenting adalah
Stabilitas Sosial Politik. Tanpa ketenangan dan kepastian tidak mungkin
kita merencanakan dan melakukan apapun.
Namun stabilitas sosial politik saja adalah bangunan kokoh yang belum
ada isinya. Karena itu, rumah yang kokoh ini bisa diisi dengan hal-hal
yang busuk. Saya khawatir bahwa sejarah akan mencatat era Orde Baru
sebagai kehidupan negara bangsa kita yang berlangsung dalam rumah yang
kokoh, tetapi kehidupan bernegara dan berbangsa berlangsung dengan
menanamkan benih-benih yang sekarang secara sepenuhnya menjadi
malapetaka yang membuat kehidupan kita bagaikan tanpa arah, tanpa moral,
chaos dan anarki.
Bidang ekonomi telah saya kemukakan dalam tiga buah artikel sebelumnya.
Dalam bidang stabilitas, ciri pokoknya ialah pemerintahan tangan besi
yang diktatorial, menanamkan rasa takut dan bersifat represif.
Penanganan yang demikian untuk kondisi yang kalut setelah peristiwa dan
kerusuhan G-30-S memang sangat dibutuhkan, dan memang terbukti sangat
kondusif dan berhasil pada tahap-tahap awalnya.
Buat mereka yang tidak peduli terhadap kehidupan berbangsa dan
bernegara secara keseluruhan, melainkan hanya ingin hidup tenteram,
serba kecukupan dan sejahtera, serta tidak mempunyai kebutuhan
memperoleh kebebasan menyatakan pendapat dan ikut serta dalam
kegiatan-kegiatan penyelenggaraan negara, stabilitas yang demikian
dirasa nyaman. Lebih nyaman lagi buat mereka yang sedang memegang
kekuasaan. Kenyamanan inilah yang menjadi batu ujian, apakah stabilitas
dipakai untuk kepentingan dirinya sendiri (
power tends to corrupt)
ataukah kekuasaan dihayati sebagai amanah yang harus digunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyatnya secara adil dan beradab.
Kalau yang terakhir ini yang menjadi tujuan dari kekuasaan, kita
seharusnya segera menyadari bahwa kebebasan yang bertanggung jawab
adalah kebutuhan hakiki manusia. Maka pemerintahan tangan besi yang
diktatorial dan represif tidak dapat bertahan selama-lamanya. Karena
itu, pemerintahan tangan besi dibutuhkan untuk mengembalikan kekalutan
pada ketertiban, dan sangat diperlukan guna melakukan pembangunan selama
rakyatnya masih belum dapat menggunakan kebebasan secara bertanggung
jawab. Sehingga sambil membangun secara perlahan dan terencana rakyat
harus dididik, dimatangkan jiwanya dengan maksud memberikan pemahaman
bahwa kebebasan tanpa rasa tanggung jawab hanya akan mengakibatkan
kekalutan dan anarki.
Yang berlangsung selama Orde Baru ialah kurang atau hampir tiadanya
kebijakan pendidikan politik kepada rakyat kita yang tujuannya adalah
mendemokrasikan kehidupan berbangsa dan bernegara kita secara
bertanggung jawab dan beradab.
Setelah 32 tahun memang ternyata rakyat tidak dapat menahan lebih
lama lagi pemerintahan tangan besi yang opresif, sehingga pecahlah
gejolak yang mengakibatkan lengsernya Pak Harto.
Dr. BJ Habibie sebagai penerusnya Pak Harto melakukan politik bandul.
Dari pemerintahan tangan besi yang otoriter, Presiden Habibie
memberlakukan kebijakan politik yang sangat ekstrem bebasnya.
Timor Timur dilepas dalam waktu sangat singkat tanpa memperhitungkan
sama sekali reaksi yang dapat ditimbulkan pada para prajurit kita yang
mempertaruhkan jiwanya selama 21 tahun, yang menyaksikan rekan-rekannya
tewas dicincang dengan cara-cara yang sangat kejam dan biadab dalam
pertempurannya melawan Fretillin. Kita tidak membutuhkan pengetahuan
psikologi untuk memahami bahwa setelah 21 tahun lamanya disuruh
mati-matian, memberikan jiwa raganya mempertahankan Timor Timur, dan
lantas mendadak disuruh meninggalkannya supaya menjadi negara merdeka
yang lepas dari NKRI, setiap manusia akan sangat gusar yang
pelampasiannya bisa mengambil bentuk yang sangat dahsyat.
Inilah yang terjadi dengan Timor Timur, yang sambil menarik diri,
sambil melakukan bumi hangus. Tidak ada satupun bangunan yang utuh di
Dilli seperti yang dikeluhkan oleh Xanana Gusmao kepada Gus Dur di
Istana Merdeka yang saya hadiri. Ketika itu saya berkesempatan
menjelaskan kepada Xanana bahwa pembumi-hangusan Timtim sebagai akibat
kebijakan yang ekstrem seperti yang dilakukan oleh Habibie atas tekanan
PBB sudah diramalkan oleh Ibu Megawati (ketika itu hanya Ketua Umum
PDIP, belum Wapres atau Presiden). Ceriteranya adalah sebagai berikut,
Wakil Sekjen PBB yang khusus ditugasi untuk referendum di Timtim,
Jamseed Marker selalu mengajak diskusi dengan Ibu Mega yang minta
didampingi oleh Laksamana Sukardi dan saya. Demikian juga dengan Menlu
Australia Alexander Downer. Ketika ditanya pendapatnya tentang
referendum di Timtim beserta jadwal waktunya, Megawati selalu
mengingatkan tentang reaksi yang bisa timbul dari para prajurit yang 21
tahun lamanya disuruh mempertahankan Timtim sebagai bagian dari NKRI
dengan seluruh jiwa raganya.
Ternyata Megawati benar. Pembumi-hangusan Timtim berlangsung spontan,
bukan atas perintah Jenderal Wiranto yang ketika itu menjabat sebagai
PANGAB. Beliau sendiri terkejut,
taken by surprise oleh pembumi-hangusan Timtim oleh para prajurit kita. Justru Megawati yang bisa merasakan sebelumnya.
Saya kemukakan ini untuk membagi pendapat saya dengan para pembaca
tentang kekurangan yang mendasar dari politik stabilisasi era Orde Baru.
Kekurangan itu adalah rencana mendemokrasikan secara bertahap.
Kekurangan itu adalah jiwa besar yang secara sangat sadar melepaskan
kekuasaannya yang absolut secara setahap demi setahap ke arah demokrasi
sambil memberikan pendidikan, bahwa kebebasan harus disertai tanggung
jawab.
Tidak ada orang yang mengatakan bahwa kehidupan berbangsa dan
bernegara kita dewasa ini, setelah kita memasuki era dan suasana yang
dinamakan “reformasi” adalah baik dan nyaman, serta berjalan sebagaimana
mestinya seperti yang kita inginkan bersama. Semua pemimpin dipilih
secra langsung melalui Pilkada di mana-mana. Setiap 3 hari ada satu
Pilkada yang keseluruhannya sampai sekarang telah menelan biaya Rp. 200
trilyun. Kebanyakan Pilkada mengakibatkan perkelahian oleh pihak-pihak
yang tidak dapat menerima pemenangnya. Kehidupan bernegara kita menjadi
chaos dan anarkis.
Mengapa? Kita ibaratkan rakyat Indonesia adalah puluhan juta per
(pegas) yang sangat kuat. Per-per ini ditindas oleh lempengan-lempengan
besi yang masing-masing setebal 10 cm. Memberi kelonggaran kepada
per-per yang tertindas supaya bisa mekar secara teratur dan terkendali
ialah dengan cara mengambil satu lempengan. Dengan demikian, per-per itu
bergerak naik, memperoleh ruang setebal 10 cm. Kita saksikan dan
rasakan apakah kebebasan yang 10 cm ini sudah bisa dinikmati dengan
tanggung jawab yang sepadan. Setelah itu kita ambil satu lempeng lagi,
sehingga kebebasannya menjadi 20 cm. Maka ketika kebebasan sudah
dianggap memadai, per-per tersebut tetap di tempat masing-masing, tetapi
dalam suasana yang bebas dan demokratis.
Yang dilakukan oleh pimpinan bangsa, baik legislatif maupun
eksekutifnya ketika memasuki era reformasi ialah dengan sekaligus
mengambil seluruh lempengan besi yang menekan dan menindas berpuluh juta
per itu, sehingga serta merta puluhan juta per yang tidak lain adalah
rakyat Indonesia (atau sebagian dar
rakyat yang vokal dan aktif)
itu berlompatan ke semua penjuru tanpa arah, tanpa kendali dan tanpa
tujuan. Akibatnya yang terjadi adalah
chaos dan anarki. Itulah yang sedang kita alami sekarang, dan yang setiap harinya semakin parah.
Ironisnya, dalam situasi dan kondisi kehidupan berbangsa dan
bernegara kita seperti ini, orang mulai mendambakan adanya pemerintahan
yang kuat. Dalam berbagai percakapan dan diskusi, yang diartikan dengan
pemerintahan yang kuat adalah pemerintahan tangan besi yang otoriter,
karena kondisi seperti ini hanya dapat ditertibkan melalui tangan besi
terlebih dahulu.
Tetapi elit kita tidak bodoh. Maka sambil mengatakan bahwa kita butuh
pemimpin dan sistem pemerintahan yang tangan besi untuk mengembalikan
suasana
chaos dan anarki ini pada katertiban, sekaligus juga
mengatakan bahwa sang diktator yang akan menyelamatkan bangsa ini, dan
yang harus mulai dengan tangan besi, haruslah orang yang bisa memahami
dan menghayati sejarah dengan maksud belajar dari sejarah. Apa itu?
Jadilah Soeharto, tapi yang sejak awal sudah merencanakan
mendemokrasikan kembali secara bertahap, sambil mendidik rakyatnya
supaya bisa berdemokrasi secara bertanggung jawab. Dan (ini yang paling
penting) yang mengerti bahwa demokrasi tidak universal. Demokrasi sangat
terikat dengan latar balakang budaya dan nilai dari setiap bangsa.
Bangsa Indonesia tidak akan mungkin dapat mengadopsi demokrasi ala
Amerika yang diterapkan oleh National Democratic Institute dan The Ohio
Mafia di bawah piminan Prof. Bill Liddle.
Demokrasi Indonesia adalah demokrasi dengan kelembagaan dan sistem yang telah dengan matang direncanakan oleh para
founding fathers
kita yang para intelektual betulan, bukan pseduo intelektual. Mereka
belajar sangat serius berdekade-dekade sebelum Indonesia merdeka. Mereka
(terutama Prof. Supomo) sudah sangat lama sebelumnya merenung,
mengkombinasikan semua falsafah demokrasi Barat dengan kebudayaan dan
nilai-nilai Indonesia yang tertuang dalam UUD 1945.
Maka setelah kesasar sebentar menjadi Negara Federal dan kesasar
memberlakukan konstitusi lain, Bung Karno mendekritkan kembali ke UUD
1945 yang asli. Pak Harto memahami hal tersebut dan tetap
mempertahankannya.
Sayang seribu sayang bahwa dengan munculnya para
pseudo filosoof dan
pseudo intelektual yang sangat dangkal, UUD 1945 diobrak-abrik, seperti halnya per-per yang berlompatan ke semua penjuru.
Apa sistem UUD 1945 itu? Esensinya Presiden tidak dipilih secara langsung, tetapi melalui
getrapte democratie,
yaitu yang memilih MPR. Sebagian dari anggota MPR diplilih secara
langsung untuk belajar demokrasi. Tetapi sebagian diseleksi (bukan
dipilih) dari kaum profesional yang disebut kelompok-kelompok fungsional
(
functionele groepen). Sekali lagi, diseleksi secara cermat
yang berkualitas, bermoral tinggi dan bijaksana. Sebagian lain adalah
wakil-wakil daerah yang mengerti betul kondisi setiap daerah dari
Indonesia yang demikian luasnya, dan yang dihormati serta mempunyai
wibawa di daerahnya masing-masing.
Dengan demikian perwakilan kita yang akan memilih Presiden terdiri
dari kombinasi antara keinginan rakyat (yang melalui pemilu), dan yang
diseleksi sebagai
de wijze mannen van het volk.
Lantas sistem musyawarah mufakat yang harus diperjuangkan mati-matian. Hanya kalau benar-benar
deadlock dengan akibat tanpa keputusan yang bisa mengakibatkan kekosongan yang lantas menjurus pada
chaos,
maka pemungutan suara baru diberlakukan. Ini telah mentradisi yang
dengan terharu saya alami sendiri di tahun 1987 ketika berfungsi sebagai
anggota Badan Pekerja MPR. Terharu, betapa Golkar yang bisa memungut
suara dan langsung bisa menggilas aspirasinya PDI dan PPP toh tidak mau
melakukannya. Golkar menanggapi setiap pendapat dan argumentasinya PDI
dan PPP dengan bersungguh-sungguh, berargumentasi dan meyakinkan PDI dan
PPP supaya keputusan diambil secara bulat. Mengapa?
Bung Karno mengatakan, apakah 51% yang memenangkan yang 49% dengan
perbedaan 2% saja itu sudah kehendak rakyat? Sudahkan itu dianggap
sebagai
Vox Populi Vox Dei?
Saya sendiri menyaksikan parlemen Inggris yang sedang menduduki
mayoritas langsung keluar sidang ngobrol ketika partai minoritas
mengajukan usulan beserta argumentasinya. Sama sekali tidak didengarkan.
Hanya ketika pemungutan suara, partai mayoritas masuk ruang,
menggunakan hak suaranya yang mayoritas untuk menggilas minoritas tanpa
mengetahui apa yang dikehendaki minoritas. Sangat mungkin untuk kebaikan
seluruh bangsa, termasuk mayoritas itu juga yang adalah anak bangsa.
Toh
a priori tidak didengar dengan maksud digilas pada waktu pemungutan suara. Inikah demokrasi?
Para
founding fathers kita telah mengenali ekses seperti ini
jauh sebelum Indonesia merdeka. Parlemen Inggris sudah tidak seperti
itu lagi perilakunya sekarang. Namun kesadaran mereka bahwa yang
demikian itu bukan demokrasi setelah para
founding fathers kita
mengenalinya, dan memasukkan ke dalam UUD 1945 cara pengambilan
keputusan yang melalui “sistem musyawarah untuk mencapai mufakat yang
dibimbing oleh hikmah kebijaksanaan”.
Demikianlah refleksi saya tentang kebijakan politik di era Orde Baru.
Mohon dibantah, supaya kita saling asah, asih dan asuh menjadi bangsa
yang pandai dan bijaksana.
Oleh Kwik Kian Gie
dari : koraninternet.com